Melanjutkan Bisnis Hulu Migas Nasional

OPINI oleh Bapak Dr. Ir. Salis S. Aprilian. MSc.
2 Januari 2018:

Melanjutkan Bisnis Hulu Migas Nasional:

Candra Aditya Wiguna

Awal pergantian tahun 2018 ini ditandai dengan milestone yang cukup penting bagi dunia Hulu migas Indonesia, karena lapangan gas terbesar di wilayah kerja Blok Mahakam, yang dioperasikan oleh Total E&P Indonesie (TEPI), berakhir sudah masa kontraknya dengan Pemerintah Indonesia.

Pengelolaan blok ini selanjutnya diserahkan kepada Pertamina Hulu Mahakam, sebagai perusahaan negara, anak/cucu perusahaan PT Pertamina (Persero), dengan saham (participating interest) 100% diserahkan sepenuhnya kepada Pertamina. Kemudian Pertamina akan berbagi PI 10% dengan BUMD di Kalimantan Timur.

Pengalih-kelolaan blok yang pada awalnya cukup alot, karena masih ada keinginan kontraktor lama ikut mengelolanya, akhirnya berjalan dengan lancar.

Kesuksesan peralihan operatorship ini setidaknya akan berdampak positif pada keberlanjutan operasi belasan wilayah kerja yang lain yang juga akan berakhir masa kontraknya dalam lima tahun kedepan.

Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Permen ESDM) No. 15 tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi Yang Akan Berakhir Masa Kontrak Kerja Samanya sebenarnya telah jelas mengatur tentang kelanjutan operasi minyak dan gas bumi (migas) setelah wilayah kerja para kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) habis masa kontraknya dengan pemerintah Indonesia.

Dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa pengalihan pengelolaan itu *dapat diserahkan langsung kepada PT Pertamina (Persero); diberikan perpanjangan kontrak kerja sama oleh Kontraktor; atau pengelolaan secara bersama antara Pertamina dan Kontraktor.*

Di sinilah inti diskusi dan negosiasinya, karena kontraktor lama masih diberi kesempatan untuk dapat melanjutkan operasi dan bisnisnya di wilayah kerja yang berakhir masa kontraknya tersebut.

Apa sebetulnya yang menarik di dalam bisnis hulu migas ini, sehingga Pemerintah harus terlebih dahulu menawarkan wilayah kerja yang berakhir masa kontraknya ini kepada Pertamina, sebagai perusahaan negara, untuk melanjutkan pengelolaannya ?

Pertama, operasi hulu migas adalah ladang pertaruhan investasi dan pendapatan yang penuh risiko tetapi dapat menghasilkan pendapatan (gain) yang luar biasa berlipat. Dan, untuk wilayah kerja yang sudah berproduksi akan memiliki tingkat risiko yang lebih rendah dengan pendapatan yang lebih pasti, jika dibandingkan dengan wilayah kerja eksplorasi.

Artinya, minyak dan gas sudah jelas ada di wilayah itu. Tinggal bagaimana kontraktor dapat memproduksikannya dengan efektif dan efisien sehingga mendatangkan keuntungan yang maksimal.

Dengan perkembangan pengetahuan, teknologi dan inovasi di bidang perminyakan yang tidak kunjung berhenti, akan selalu ada peluang untuk meraih sukses dan keuntungan dari keberadaan migas yang terpendam di bawah bumi sana meski sudah lama diproduksikan.

Dinamika “gain or loss” yang selalu menyertai operasi untuk menggali keberadaan migas yang tak tampak oleh mata malah menjadikannya bisnis ini selalu menarik bagi investor.

Kedua, migas bukan lagi sebagai komoditi saja, tetapi sudah merupakan barang penggerak ekonomi dan pembangunan, bahkan memiliki nilai strategis pertahanan negara.

Dengan serangkaian kegiatan yang terlibat pada sektor hulu migas, beberapa kegiatan lain akan terciptrat keuntungannya.

Inilah yang disebut dengan “multiplier effects” bisnis hulu migas yang sangat signifikan magnitude-nya, dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama jika dibandingkan bisnis lainnya.

Ketiga, jika tata kelola kegiatan hulu migas berjalan baik, maka kebutuhan terhadap energi fosil yang banyak menfaatnya bagi hajat hidup orang banyak ini dapat terpenuhi dalam jangka waktu yang lama.

Kemandirian bidang energi menjadi sangat penting untuk memperkuat posisi negara di tengah meningkatnya kebutuhan energi dunia masa kini dan di masa depan dengan sumberdaya yang makin menipis.


Perlu Keberpihakan

Ketiga faktor itulah yang harus dilihat manakala kebijakan melanjutkan operasi hulu migas di Indonesia diterapkan. Permen ESDM di atas telah cukup mengatur peralihan pengelolaan (operatorship) dari pemegang kontrak yang lama kepada pemegang kontrak yang baru.

Namun lagi-lagi kehadiran dan keberpihakan pemerintah diperlukan ketika Pertamina, sesuai Permen ESDM tersebut, sebagai perusahaan negara, menerima mandat untuk melanjutkan operasi (sebagai Kontraktor baru) pada suatu wilayah kerja yang berakhir kontraknya.

Jangan sampai terjadi masalah pada penyerahan data dan informasi, pengalihan tenaga kerja, kelanjutan kontrak-kontrak dengan para vendor, kelanjutan proyek-proyek yang sedang berjalan, pelaksanaan program K3LL (keselamatan dan kesehatan kerja dan lindung lingkungan), dan lain-lain.

Pertamina seharusnya diberi keleluasaan untuk melakukan due diligence secara komprehensif jauh sebelum masa kontrak berakhir sehingga tidak juga menjadi “tempat sampah” bagi wilayah kerja yang memang sudah tidak produktif.

Jika Permen ESDM ini dijalankan dengan keberpihakan pada perusahaan negara, sudah barang tentu Pertamina akan memiliki asset yang bertambah besar nilai (vualuasi)nya.

Banyak hal yang harus diselesaikan dalam sepuluh tahun mendatang, pada saat beberapa KKKS besar mengakhiri masa kontraknya dengan Pemerintah Indonesia. Maka, baik Pertamina maupun Pemerinah seharusnya membuat langkah strategis dan tindak lanjut yang efektif agar pengalih-kelolaan ini dapat berjalan sukses.


Tindak Lanjut

Hal yang harus dilakukan pertama kali, setelah Pertamina melakukan due diligence, sebelum mengajukan rencana kerja dan anggaran kepada Pemerintah, adalah melakukan langkah prioritasi.

Beberapa wilayah kerja Pertamina yang yang tersebar di berbagai wilayah dengan puluhan ribu sumur yang sudah dibor perlu dievaluasi dan dibandingkan dengan potensi pada area kerja yang akan berakhir masa kontraknya tersebut.

Wilayah kerja mana yang masih menjanjikan menyimpan cadangan dan produksi migas yang ekonomis harus segera diidentifikasikan.

Dengan demikian, besarnya asset plus potensinya dan risiko yang ada dapat dipetakan dengan lebih seksama.

Langkah selanjutnya adalah Pertamina melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dan/atau swasta nasional untuk dapat mengelola asset yang semakin bertambah dengan lebih efektif dan efisien.

Program Kerjasama Operasi (KSO) yang selama ini dijalankan Pertamina dapat diteruskan dengan pengendalian yang lebih baik.

Pemangkasan birokrasi mesti dilakukan. Desentralisasi sistem pengelolaan aset dengan lebih transparan segera diterapkan. Pemberdayaan orang-orang setempat (yang bertempat tinggal di sekitar daerah operasi) lebih dilibatkan.

Melalui in-house training dan coaching Pertamina, perusahaan daerah diharapkan dapat meningkatkan kapasitas dan kinerjanya.

Pekerja Pertamina dapat mewariskan pengalaman dan pengetahuan pada generasi muda di daerah.

Dengan demikian tidak ada kegamangan perusahaan nasional untuk dapat dengan cepat mengalihkan pengelolaan assetnya ke perusahaan daerah dan swasta nasional yang terseleksi dengan baik melalui KSO atau dalam bentuk lain di bawah pengawasan Kementrian ESDM, BUMN, dan Keuangan.

Jika kerjasama dan alih kelola itu terjadi dengan baik, maka Pertamina, sebagai perusahaan nasional, dapat lebih difokuskan untuk menangani wilayah kerja yang besar peninggalan KKKS multinasional dan mengelola asset yang kian tumbuh di luar negeri.

Dengan jumlah lulusan perguruan tinggi yang sudah demikian banyak sekarang ini, dan teknologi yang mudah didapatkan di pasaran, serta dukungan finansial di pasar modal maupun dari beberapa perusahaan keuangan yang terus tumbuh dan transparan, maka bukan tidak mungkin desentralisasi pengelolalaan asset sektor hulu migas ini akan cepat mendorong kenaikan produksi migas nasional dengan ongkos produksi yang lebih efisien.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di luar negeri dapat ditingkatkan dengan upaya dapat membawa hasil produksi migas dari negara-negara tersebut ke kilang-kilang kita, atau pabrik petrokimia dalam negeri, yang membutuhkan bahan baku (feed stock) untuk jangka panjang.

Yang dibutuhkan adalah penyatuan kegiatan hulu dan hilir dalam berinvestasi di suatu negara agar diperoleh hasil yang maksimal.

Pemerintah pun harus menggandeng institusi dan/atau perusahaan yang terkait dengan kegiatan Pertamina di luar negeri, seperti bank nasional, perusahaan konstruksi, telekomunikasi, petrokimia, dan lain-lain.

Inilah impian “Indonesia incorporated” untuk berlaga di dunia internasional yang telah lama digaungkan namun belum juga dapat direalisasikan.

Semoga dengan mengambil momentum yang baik dari peralihan pengelolaan bisnis hulu migas ini impian tersebut akan segera terwujud. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Melanjutkan Bisnis Hulu Migas Nasional"

Post a Comment